A. Latar Belakang
Negara merupakan lembaga yang bertujuan menjamin pelaksanaan hak-hak bagi warganya. Sementara itu kesejahteraan merupakan satu ide terbentuknya negara, dimana struktur lembaga-lembaga negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif dibentuk dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan yang abstrak menjadi konkrit, nyata, dan dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Pemerintah sebagai representasi keberadaan negara bertujuan dan bertugas meningkatkan kesejahteraan bagi para oknum atau masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Petani diberikan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil pertaniannya, pedagang diberi kesempatan mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain, kepada para usahawan diberikan peluang untuk mengembangkan perusahaannya, kepada para buruh dan tenaga kerja pada umumnya dijamin untuk mendapatkan upah yang layak, dan kepada penduduk pada umumnya dijamin tidak kekurangan sandang dan pangan, dari pengangguran, dan hal-hal lain seperti epidemi penyakit (Prodjodikoro, 1981).
Dalam konsep modern, kesejahteraan yang dimaksud dirumuskan dalam konsep “freedom from fear and want”, dalam arti, masyarakat terbebas dari ketakutan dan bebas melaksanakan keinginannya. Dengan demikian parameter kesejahateraan dapat
diukur dengan tingkat kemampuan rakyat memenuhi dan mengembangkan kebutuhan ekonominya.
Konsep pembangunan yang dijalankan pemerintah substansinya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana yangdiamanatkan oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan diimplementasikan dibawah payung konsep trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Berdasarkan konsep trilogi, pembangunan, titik tekan pembangunan diarahkan untuk menjamin berjalannya pengembangan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini didasari pada keyakinan bahwa pembangunan demokrasi di suatu negara selaras dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki masyarakat, dan segala macam bentuk yang berpotensi menjadi penghalang bagi pembangunan ekonomi adalah hal yang harus dihindari.
Namun pada kenyataannya yang terjadi adalah suatu kondisi yang justru cukup jauh dari konsep idealnya. Harga pupuk yang setiap tahun meningkat, sarana dan prasarana yang tidak memadai dalam rangka pengangkutan hasil pertanian, harga bahan pokok yang tidak stabil, kebijakan perburuhan yang tidak pro pekerja, serta tingkat pengangguran yang semakin meningkat.
Hal ini jelas menyebabkan terjadinya kesenjangan segala aspek kehidupan di lingkungan masyarakat. Sebagai contoh adalah terjadinya kesenjangan dalam aspek ekonomi, dimana kebijakan yang ada justru semakin melemahkan masyarakat ekonomi lemah. Sehingga muncul istilah dalam masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Perubahan (change) tentunya dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan dalam hal ini lebih kepada upaya-upaya yang paling dibutuhkan saat ini dan yang paling menyentuh kepentingan masyarakat lapisan bawah (rakyat kecil).
Disadari atau tidak, sebenarnya upaya untuk menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat.
Upaya itu dilakukan melalui kebijaksanaan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat. Dalam rangka ini, berkembang konsep pemberdayaan masyarakat yang pada hakikatnya memampukan dan memandirikan masyarakat.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan kenyataan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa partisipasi merupakan sesuatu yang mewah bagi masyarakat. Terlebih lagi, hubungan antara pemerintah dengan rakyat memiliki kesenjangan yang sangat jauh. Kesenjangan tersebut merupakan penghalang terbesar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Selain kesenjangan hubungan antara pemerintah dengan rakyat, terdapat
asumsi dasar masyarakat terhadap pemerintah yang juga belum berubah; pemerintah harus menyediakan kebutuhan rakyat, tanpa perlu adanya tuntutan dari bawah.
Untuk itu karena adanya keterbatasan waktu serta pembahasan, maka penulis membatasi pembahasan hanya mengenai “bagaimana pemberdayaan SDM sebagai suatu upaya dalam melakukan perubahan”
A. Pentingnya perubahan.
Secara umum perubahan adalah transformasi dari keadaan sekarang menuju keadaan yang diharapkan di masa yang akan datang. Apabila tidak terjadi perubahan, maka dapat dipastikan akan terjadi kemandegan serta kehidupan yang tidak berkembang. Dengan demikian perubahan adalah membuat sesuatu menjadi berbeda (Robbins, 2001:542).
Namun yang perlu disadari adalah perubahan demi perubahan sebenarnya telah terjadi sejak lama, hanya intensitasnya sekarang ini cenderung semakin meningkat. Banyak pakar di dunia ini mengemukakan bahwa satu-satunya yang tetap di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.
Terkait perlunya pemberdayaan manusia sebagai suatu upaya dalam melakukan perubahan, dapat dilihat dari 3 upaya yang perlu dipertimbangkan sebelum mengimplementasikan perubahan (Potts dan LaMarsh, 2004:40), yaitu :
1. Bagaimana kita mengetahui adanya sesuatu yang salah pada keadaan sekarang ini?
2. Aspek apa dari keadaan sekarang ini yang tidak dapat tetap sama?
3. Seberapa serius masalahnya?
Dari konsep yang dikemukakan ole Potts dan Lamarsh, sangat jelas dibutuhkan suatu perubahan, mengingat bahwa ada yang salah pada keadaan sekarang ini, dimana setiap kebijakan pemerintah dan penerapannya tidak selalu menyentuh kepentingan masyarakat kecil, yang terjadi pada semua aspek kehidupan, dan ada pada tingkat yang cukup serius.
Conner (1992:38) menilai bahwa terdapat 7 (tujuh) isu fundamental yang memberikan kontribusi pada peningkatan perubahan yang kita hadapi, yaitu :
1. Penguasaan komunikasi dan pengetahuan yang semakin cepat;
2. Penduduk yang semakin tumbuh;
3. Meningkatnya interdependensi dan kompetisi;
4. Terbatasnya sumber daya;
5. Terbaginya ideologi politik dan keagamaan;
6. Perubahan kekuasaan secara konstan;
7. Kesulitan ekologis.
Namun patut diingat bahwa dalam suatu perubahan tentu akan mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat. Hal ini tentunya akan mengakibatkan lambatnya proses perubahan yang diinginkan. Ada berbagai kecenderungan pada diri manusia untuk menolak perubahan, yang disebabkan oleh:
· Ide baru mengandung ketidakpastian;
· Mengancam atau merusak status yang telah mapan;
· Mengancam hal-hal yang sudah jalan;
· Menimbulkan pro dan kontra;
· Mungkin menjadikan suatu yang lebih baik tetapi ada resiko besar.
Disamping itu ada pula hal-hal yang menghambat terjadinya suatu perubahan :
· Masyarakat menganggap itu tidak mungkin dilakukan;
· Sudah tahu dan pernah mencoba tetapi tidak jalan;
· Perubahan yag sangat drastis dan radikal;
· Tidak cocok dengan masyarakat;
· Bertentangan dengan kebijakan.
Patut diingat bahwa sebuah perubahan besar tidak mungkin akan terjadi jika tidak dimulai dari perubahan – perubahan kecil. Adapun kunci dasar untuk melakukan perubahan- perubahan itu adalah perlu untuk mengenal:
· Psychology atau perubahan yang sangat esensial dari diri sendiri
· Sociology atau perubahan yang disebabkan oleh lingkungan
· Anthropology atau perubahan turun-temurun yang dipengaruhi budaya.
· Biology atau perubahan yang dipengaruhi oleh genetika.
Dalam konteks ini perubahan yang diperlukan adalah perubahan psychology atau dari diri sendiri. Jika ini sudah dapat dilakukan oleh masyarakat, maka akan mempengaruhi terhadap perubahan secara sociology atau lingkungan.
B. Pemberdayaan Masyarakat
Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan sesuatu yang kompleks, tetapi untuk memahaminya dapat disederhanakan, dengan memperhatikan beberapa masalah pokoknya yaitu :
1) pendapatan yang rendah;
2) adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya dengan yang miskin, di mana masyarakat miskin adalah mayoritas;
3) partisipasi masyarakat yang minim dalam usaha-usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah.
4) keadaan yang demikian memiliki sebab yang kompleks.
5) kurangnya pengembangan sumberdaya alam;
6) kurangnya pengembangan sumberdaya manusia;
7) kurangnya lapangan kerja;
8) adanya struktur masyarakat yang menghambat.
Sekarang permasalahannya, bagaimana upaya mengangkat taraf kehidupan masyarakat dan merealisasikan potensi yang ada. Perlu dipertimbangkan bagaimana strateginya, pendekatannya dan terutama bagaimana pendidikan yang dapat memberikan sumbangan positif terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.
Pemahaman mengenai proses motivasi dan dinamika hidup yang memungkinkan kaum miskin mempertahankan hidupnya merupakan hal penting untuk membangun masyarakat. Masyarakat sangat tergantung pada fluktuasi pendapatan dan harga-harga bahan pokok.
Kemampuan bertahan inilah yang merupakan modal masyarakat untukm dapat dikembangkan dengan menggali potensi-potensi yang ada. Tiap-tiap masyarakat hidup dalam lingkungan sosial budaya dan alam yang berbeda. Masing-masing memiliki karakteristik yang dibangun berdasarkan social setting di mana masyarakat tersebut berada.
Masyarakat pertanian tentu berbeda dengan masyarakat pesisir, demikian juga masyarakat perkotaan tentu tidak dapat disamakan dengan masyarakat perdesaan. Membangun masyarakat tentu tidak dapat dilepaskan dari social setting tersebut.
Artinya di sini, pola pembangunan yang diterapkan terhadap masyarakat kota tidak dapat disamakan dengan pembangunan yang diaplikasikan di desa.
Kebutuhan dan sosiokultural kedua kelompok masyarakat tersebut sudah sangat berbeda. Satu hal yang pasti, tiap-tiap masyarakat memiliki ‘basic needs’. Kebutuhan mendasar dari masyarakat inilah yang harus digali untuk dapat memberdayakan potensi-potensi yang ada.
Pemberdayaan masyarakat merupakan prasyarat utama dalam mengimplementasikan desentralisasi dan otonomi daerah dimana pembangunan mulai tahap perencanaan hingga pengawasan melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat mendorong proses demokratisasi berjalan dengan lancar dengan prinsip dasar partisipasi, kontrol, transparansi dan akuntabilitas.
Pemberdayaan masyarakat dalam deskripsi Arbi Sanit dimaksudkan sebagai upaya untuk mentransformasikan segenap potensi pertumbuhan masyarakat menjadi kekuatan nyata masyarakat, untuk melindungi dan memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan di dalam arena segenap aspek kehidupan. Sebagai basis dari kehidupan
masyarakat, maka penguatan ekonomi rakyat, di samping pematangan budaya dan pemantapan agama, adalah langkah mendasar untuk memberdayakan masyarakat.
Pengembangan ekonomi dan nilai itu berguna bagi kemandirian serta penguatan posisi bargain masyarakat untuk berhadapan dengan kekuatan negara (Sanit, 1998).
Secara fungsional, pemberdayaan masyarakat dimaksudkan pula sebagai upaya melegitimasi dan memperkokoh segala bentuk gerakan masyarakat yang ada, mulai dari gerakan kesejahteraan mandiri masyarakat dengan ujung tombak LSM; berlanjut kepada gerakan protes masyarakat terhadap dominasi dan intervensi birokrasi negara, kesewenangan dunia industri, dan serba mencakupnya globalisasi; dan sampai kepada gerakan moral yang bemaksud memberikan baju moral kepada kekuatan (force) telanjang yang menjadi andalan hubungan sosial dalam tiga dekade terakhir (Sanit, 1998).
Penekanan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa hal, antara lain :
1. Adanya kemampuan menyeluruh dari masyarakat dalam mempengaruhi lingkungan mereka, dan hal ini dapat dicapai jika proses pengembangan masyarakat merupakan proses pengembangan kemandirian mereka.
2. Peningkatan pendapatan sebagai akibat peningkatan kemampuan menguasai lingkungan tidak terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja atau kelompok masyarakat yang kuat, melainkan harus merata di tiap penduduk.
Kedua faktor tersebut mengarah pada upaya menghindarkan penduduk perdesaan dari hambatan-hambatan dari luar yang mengurangi potensi mereka serta membatasi keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan setempat.
Upaya pemberdayaan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara individual dan keluarga. Dalam rangka ini pendekatan yang paling efektif melalui kelompok, bukan secara individual. Hal ini untuk menghindarkan individu yang berpotensi besar untuk berkembang akan maju sendiri dan meninggalkan anggota masyarakat lain.
Pemberdayaan masyarakat karenanya terkait secara erat dengan tiga hal pokok, yaitu kearifan lokal (local wisdom), institusi dan individu. Ketiga komponen ini harus saling mendukung dan melengkapi. Apabila satu dari ketiganya timpang, maka
pemberdayaan sulit berhasil. Tujuan dari pemberdayaan masyarakat yaitu membangun individu yang mandiri dan kelompok yang solid, serasi dengan pendekatan dan penguatan kelompok, dan tidak terlepas dari social setting masyarakat yang akan diberdayakan.
Paradigma pemberdayaan masyarakat hingga saat ini masih didominasi persepsi bahwa upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dilakukan dengan cara memberikan sejumlah dana sebagai modal. Padahal, pendekatan tersebut tidak selalu tepat, karena masyarakat belum tentu membutuhkan dana.
Ada yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi tidak mengetahui bagaimana mengelolanya, ataupun ada pula masyarakat yang memiliki kemampuan mengolah sumber daya alam yang mereka miliki, tetapi tidak dapat mengakses pasar, jadi permasalahan memberdayakan masyarakat tidak dapat disamakan, harus dilihat kasus per kasus dan wilayah per wilayah
Pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan negara sebagai sistem yang lebih luas yang berfungsi menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Selain itu, struktur masyarakat Indonesia yang paternalistik menempatkan tokoh masyarakat dalam posisi yang penting. Untuk itu, keterlibatan tokoh masyarakat menjadi faktor yang cukup menentukan dalam proses pemberdayaan.
PENUTUP
Tingkat keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah tergantung dari partisipasi masyarakat di daerah, sebab tujuan dari desentralisasi dan otonomi daerah agar masyarakat lokal mampu mengatur potensi wilayahnya sesuai dengan kemampuan lokal yang dimiliki. Kemandirian dalam mengatur sumberdaya lokal atau kearifan lokal (local wisdom) yang mereka miliki diharapkan akan menumbuhkembangkan kreativitas masyarakat daerah dalam menggali potensi-potensi yang tersedia, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu upaya dalam melakukan perubahan, maka disarankan kepada pemerintah agar :
- Menumbuhkembangkan kembali daya masyarakat memanfaatkan sumberdaya dan budaya lokal yang ada, maka masyarakat perlu diadvokasi, sehingga mampu memanfaatkan kembali potensi lokal mereka. Bukti dari betapa kuatnya kooptasi budaya dominan yang diciptakan pemerintah pusat terhadap potensi dan kearifan lokal adalah hilangnya fungsi desa sebagai unit sosial-budaya yang telah ada semenjak negara ini belum didirikan.
- Program-program advokasi dijalankan secara menyeluruh, mencakup semua program yang memberdayakan masyarakat dari segi sosial, politik dan ekonomi. Masyarakat diarahkan mampu untuk memperjuangkan hak-hak sipil dan melakukan kontrol terhadap negara dalam hal ini pemerintah daerah.
- Menggali potensi daerah yang bernilai ekonomis, sehingga memiliki daya saing yang memungkinkan mereka masuk dalam sistem pasar bebas. Pemberdayaan masyarakat lokal tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah selama ini telah telah merasakan manfaat
- Program pemberdayaan diformulasikan atas pradigma capacity from within dan pressure from without. Dengan demikian program advokasi tidak dijalankan secara top-down dengan anggapan bahwa masyarakat tidak berdaya dan tidak memiliki kesadaran sosial, politik dan ekonomi sama sekali. Program diformulasikan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran sosial, politik dan ekonomi yang diaktualisasikan dalam budaya dan kearifan lokal yang ada. Namun karena kooptasi pemerintah pusat, kearifan lokal tesebut tersubordinasi secara struktural oleh budaya dominan kekuasaan yang menyebabkannya terpendam dalam alam bawah sadar
Otonomi daerah memberikan peluang yang lebih besar bagi masyarakat sipil untuk lebih berperan dalam menentukan kebijakan publik. Tetapi, peran masyarakat sipil di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kemauan politik untuk memberikan ruang aspirasi masyarakat secara lebih luas. Dalam mendelegasikan kewenangan, pemerintah terkesan setengah hati dan masih belum rela untuk melepaskan previlege yang selama ini dinikmati.
Beberapa kasus menunjukkan hal tersebut, seperti kembalinya fungsi pengawasan dan pembinaan dalam UU No. 32/2004 merefleksikan dominasi pusat terhadap daerah yang dapat mematikan inisiatif lokal. Implikasi dari undang-undang yang cenderung anti desentralisasi tersebut dikhawatirkan akan mengurangi kekuatan daerah yang mulai menguat, dan bersamaan dengan itu akan meredupkan kembali peran masyarakat sipil.
Tidak cukup sampai di situ, desa sebagai entitas sosial budaya pun pada akhirnya menjadi entitas politik dimana lembaga-lembaga desa lebih dijadikan sebagai ‘corong’ pemerintah daripada ‘corong’ yang menyuarakan kepentingan masyarakat desa.
Akhirnya tata pemerintahan yang baik sangat bergantung pada upaya-upaya penguatan peran masyarakat sipil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan lebih maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar