script

Jumat, 08 April 2011

Administrasi Kependudukan dari Aspek Hak Keperdataan


Quantcast
Gagasan menyusun suatu sistem administrasi yang menyangkut seluruh masalah kependudukan, yang meliputi pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan data-informasi kependudukan, patut menjadi perhatian untuk mewujudkannya. Karena sampai saat ini, peraturan perundang-undangan yang mendukungnya masih terpisah-pisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa ada kaitan satu dengan lainnya. Perwujudan suatu sistem memang sangat didambakan oleh masyarakat. Bahkan sebagai ciri dari penyelenggaraan negara yangmodern khususnya bidang pelayanan masyarakat.

Sejak kemerdekaan 57 tahun yang lalu, masalah administrasi kependudukan masih dirasakan tumpah tindih, tidak ada keterkaitan dalam administrasi antara keberadaan penduduk dengan kebutuhan lain yang sebetulanya atas dasar kependudukan itu sendiri. Kebutuhan yang paling dekat adalah pencatatan sipil, namun demikian belum ada yang secara otomatis dapat mengalir datanya pada pendafataran penduduk.
Masing-masing masih mementingkan kepentingan sektoralnya dari pada lebih memperhatikan kepentingan bersama secara koordinatif. Sebagai contoh konkrit saja, kita dapat merasakan data pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam, mandeg di KUA hanya sebagai laporan data ke Departmen Agama. Sedangkan Kantor Catatan Sipil di wilayah yang sama tidak memiliki akses dan tidak memperoleh data sama sekali dari KUA. Sehingga fungsi Kantor Catatan Sipil seolah-olah hanya berlaku bagi bukan yang beragama Islam.
Demikian pula masalah perceraian yanng diputus baik oleh Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) maupun Pengadilan Negeri (bagi yang beragama lain). Data dari kedua pengadilan tersebut tidak ditransfer secara otomatis kepada Kantor Catatan Sipil. Oleh karenanya adalah wajar kalau data dari dinas kependudukan dengan BPS tidak sama.
Pencatatan sipil merupakan hak dari setiap warga negara dalam arti hak memperoleh akta autentik dari pejabat negara. Masih jarang penduduk menyadari betapa pentingnya sebuah akta bagi dirinya dalam menopang perjalanannya dalam “mencari kehidupan”. Betapa tidak ! Anak lahir tanpa akta kelahiran, ia akan memperoleh kesulitan pada saat ia memasuki pendidikan. Demikian pula dalam masalah perkawinan, kematian, dan status anak. Banyak manfaat yang membawa akibat hukum bagi diri seseorang. Sebuah akta perkawinan yang diterbitkan oleh pejabat Kantor Catatan Sipil, memiliki arti yang sangat besar di kemudian hari, manakala terjadi sesuatu. Misalnya untuk kepentingan menentukan ahli waris, menentukan dan memastikan bahwa mereka adalah mukrimnya, atau dapat memberi arah ke pengadilan mana ia mengajukan cerai dan lain-lain yang tanpa disadari akta-akta tersebut sangat penting artinya bagi kehidupan seseorang.
Pengertian pendafataran penduduk dan pencatatan sipil adalah tidak dapat disangkal bahwa sistem administrasi kependudukan merupakan sistem yang mengatur seluruh administrasi yang menyangkut masalah kependudukan pada umumnya. Dalam hal ini terkait tiga jenis pengadministrasian, yaitu pertama pendaftaran penduduk, kedua pencatatan sipil, dan ketiga pengelolaan informasinya. Ketiga sub sistem tersebut masing-masing memiliki pengertian dan definisi yang mampu memberikan gambaran tentang seluruh kegiatannya.
Pengertian pendaftaran penduduk sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk, disebut bahwa pendaftaran penduduk adalah kegiatan pendaftaran dan atau pencatatan data penduduk beserta perubahannya, perkawinan, perceraian, kematian, dan mutasi penduduk, penerbitan nomor induk kependudukan, nomor induk kependudukan sementara, kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan akta pencatatan penduduk serta pengelolaan data penduduk dan penyuluhan. Sedangkan penduduk adalah setiap Warga Negera Indonesia yang selanjutnya disingkat WNI dan Warga Negara Asing yang selanjutnya disingkat WNA pemegang ijin tinggal tetap di wilayah negara Republik Indonesia. Jadi dari definisi tersebut, jelas yang dimaksudkan penduduk adalah setiap WNI dan WNA pemegang ijin tinggal tetap. Untuk itu guna administrasinya diselenggarakan pendaftaran penduduk.
Sedangkan nomenklatur tentang “pencatatan penduduk” seperti yang disebutkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1999 tersebut, sesungguhnya tidak tepat kalau diartikan sama dengan “pencatatan sipil”. Kata “sipil” pada “pencatatan sipil” tidak sama artinya dengan penduduk.
Pencatatan penduduk artinya data-data sebagai penduduk yang dicatatkan. Tetapi kalau “pencatatan sipil” artinya status sipilnya yang dicatatkan, karena adanya perubahan pada diri seseorang. Misalnya pencatatan atas kelahiran, artinya atas perubahan status sipilnya dari yang sebelumnya belum ada di dunia tetapi karena akibat kelahirannya ia menjadi mempunyai status dan berhak atas hak sipilnya. Demikian pula bagi pencatatan perkawinan adalah seseorang yang karena perubahan status sipilnya dari lajan menjadi berstatus kawin yang membawa akibat hukum karenanya. Sebaliknya pencatatan perceraian, ia merubah status kawin menjadi status janda atau duda yang juga membawa akibat-akibat hukum. Termasuk pencatatan kematian, akan membawa akibat dalam hubungan hukum antara yang meninggal dunia dengan anak-anak, suami atau istri dengan orang tua maupun saudara-saudaranya, dalam hal ini sering disebut-sebut sebagai ahli warisnya yang akan menerima segala warisan baik yang positif maupun yang negatif.
Dari urian tersebut di atas, jelas bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1999 telah menimbulkan kerancuan dan salah kaprah sampai pada Peraturan-peraturan Daerah di beberapa daerah.
Pemakaian istilah “Catatan Sipil” sudah sejak ordonansi-ordonansi seperti Staatsblad 1949 No. 25, atau Staatsblad 1917 No. 130 yo 1919 No. 18, atau Staatsblad 1920 No. 751 yo 1927 No. 564, atau Staatsblad 1933 No. 75 yo 1936 No. 607. Terminologi “Catatan Sipil” adalah terminologi baku secara hukum karena atas dasar pencatatan tersebut seseorang menjadi jelas status hak sipilnya. Dalam Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, juga tetap menggunakan istilah “Catatan Sipil”. Hal tersebut menandakan bahwa status keperdataan seseorang yang dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, sebagai akibat dari adanya status seseorang.
Keanekaragaman peraturan perundang-undangan sebagai warisan hukum Pemerintah Belanda dengan sistem Kolonial yang membagi penduduk di dalam 3 (tiga) golongan besar (Eropa, Tionghoa, dan Bumi Putera) benar-benar mengancam perpecahan bagi persatuan bangsa. Menurut penyusun kodifikasi Kitab Undang-undang Perdata (Prof. Drs. CST Kansil, SH dan Christine SF Kansil SH, MH, 2001), bahwa dewasa ini KUHP Perdata memerlukan penyempurnaan sehubungan dengan perkembangan Hukum Perdata di Indonesia selama lebih 150 tahun berlaku di tanah air, yaitu dengan Buku Kesatu tentang Orang. Oleh karenanya adalah wajar dan sudah saatnya para penyelenggara negara digugah “masa tidurnya” selama ini, guna disadarkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur seluk beluk pencatatan, baik saat kelahiran, perkawinan, kematian dan status hukum seseorang adalah usang yang justru rawan terhadap disintegrasi bangsa. Kalau ditelusuri sebab-sebabnya, tentunya kembali kepada kesadaran para penyelenggara negara itu sendiri yang mungkin tidak memiliki kepekaan dan tenggalam dalam rutinitasnya sehari-hari.
Oleh karenanya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya perlu diupayakan segera pembaharuan hukum , khususnya dalam hal perlindungan hak melalui penerbitan akta perkawinan dan perceraian, disamping untuk kelahiran, pengangkatan anak dan status anak. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan berupa :
  1. Menciptakan pembaharuan hukum yang sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang menjamin hak-hak warga negaranya, sebagai pengganti peraturan perundang-undangan yang telah usang.
  2. Melakukan kajian kritis terhadap seluruh pranata hukum produk kolonial dengan mengeyamping ketentuan-ketentuan yang sudah tidak relevan.
  3. Melakukan penyusunan naskah akademis tentang pencatatan sipil yang dilanjutka menyusun draf Rancangan Undang-undang baru.
  4. Mengakomodasi Yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah memutuskan terhadap perkawinan atas dasar beda agama dan perkawinan antar penganut Kong Hucu, sebagai suatu ketentuan lex spesialis.
  5. Agar memperoleh dorongan masyarakat luas, perlu sosialisasi baik mengenai permasalahannya salama ini dan bagaimana mengatasinya
  6. Mendesak Pemerintah agar bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat memperhatikan masalah administrasi kependudukan guna mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sangat didambakan selama ini.
  7. Melakukan sosialisasi tentang pentingnya Catatan Sipil, agar setiap perkawinan menjadi sah menurut hukum negara.
  8. Merevisi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 2 ayat 2 harus ditambah kalimat, “Tiap-tiap perkawinan sebagaimana dimaksud ayat 1, wajib dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
  9. Memasukkan amar putusan Mahkamah Agung ke dalam materi draf Rancangan Undang-undang tentang Catatan Sipil yang memungkinkan dilangsungkannya perkawinan dari pasangan yang berbeda agama atau antara pasangan yang menganut Kong Hucu.
(Disari dari Makalah Ny. Lies Sugondo, SH, Ketua Konsorsium Catatan Sipil dalam Konperensi Nasional Pengembangan Pelayanan Publik di Bidang Kependudukan, Mei 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar