script

Jumat, 08 April 2011

Fenomena out sourching

Quantcast

Latar Belakang
Ditengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, menimbulkan adanya suatu kompetisi atau persaingan bagi tiap orang untuk bisa eksis dalam pemenuhan kebutuhannya. Adanya investasi dan ekspansi merupakan beberapa cara yang dilakukan oleh manusia dalam mewujudkan tujuannya di bidang ekonomi. Tak terkecuali oleh perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah, semuanya tetap mengacu menjalankan kegiatan-kegiatnnya dengan berdasarkan prisip efisiensi.
Lahirnya dan semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan outsourcing, merupakan salah satu contoh bahwa semakin beragamnya perusahaan yang muncul dengan menawarkan produk-produk yang bukan berupa barang. Perusahaan outsourcing merupakan perusahaan pemberi tenaga kerja atau perusahaan yang menyalurkan tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, akan tetapi tenaga kerja yang disalurkan oleh perusahaan outsourcing hanya untuk penunjang kegiatan operasional perusahaan tempat mereka disalurkan, bukan untuk tugas pokok.
Outsourcing dinilai sebagai bagian bisnis yang menjanjikan bagi pengusahanya dan menguntungkan juga kepada perusahaan-perusahaan yang menjalin kerjasama (kontrak) dengan perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja tersebut. Karena dari beberapa sudut pandang, outsourcing ini dianggap sebagai sarana untuk mengurangi biaya, menurunkan pekerjaan agar memungkinkan suatu perusahaan berkonsentrasi pada sejumlah aspek penting pengembangan dan penggunaan teknologi informasi, dan mengakses keterampilan yang mahal.
Dalam kamus besar manajemen modern ada sebuah rumus yang dipercaya secara luas bahwa untuk dapat mempertahankan eksistensi sebuah usaha sebaiknya sebisa mungkin hanya memfokuskan diri pada apa yang menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantadge). Atau dengan kata lain, sangat dianjurkan bagi para pelaku usaha untuk mulai menyerahkan sekelompok aktifitas bukan aktifitas inti kepada pihak lain.
Tindakan ini dimaksudkan agar para pelaku usaha tersebut benar-benar hanya berkonsentrasi pada pengembangan usaha inti (core business) tanpa harus dipusingkan isu-isu sensisitif seperti: kenaikan harga BBM, penurunan nilai rupiah dan kenaikan tarif dasar listrik. Konsep pendelegasian aktifitas inilah yang kemudian banyak disebut orang sebagai model outsourcing.

Masalah
Keberadaan perusahaan outsourcing yang semakin hari semakin menjamur memang tak bisa kita bendung, eksistensi perusahaan penyedia tenaga kerja tersebut banyak menyerap tenaga kerja yang secara tidak langsung perlahan-lahan menekan tingkat pengangguran di negara kita.
Akan tetapi, dewasa ini seperti yang sering kita saksikan lewat media massa, sering terjadi pertentangan antara buruh yang dipekerjakan atau yang disalurkan oleh perusahaan outsourcing yang menampung mereka dengan pengusaha tempat mereka disalurkan, atau pertentangan antara buruh dengan pihak outsourcing (outsourcer).
Apa yang menjadi masalah yang melatarbelakangi pertentangan buruh dengan pengusaha yang terjadi akhir-akhir ini? Bagaimanakah aspek hukum  memandang keberadaan outsourcing? dan solusi yang bisa kita berikan untuk menyelesaikan pertentangan antara buruh dan pengusaha yang terjadi?

Outsourcing Dalam Undang-Undang dan Hukum
Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyebutkan secara tegas definisi mengenai outsourcing. Namun demikian, jika ditelaah mendalam dari sudut pandang hak, kewajiban dan tanggung jawab yang melekat, outsourcing dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Meskipun demikian, perjanjian waktu tertentu itu sebenarnya kurang tepat untuk mengatur tenaga outsourcer. Ada beberapa alasan yang dapat diberikan. Pertama, pada konsep outsourcing tidak dikenal adanya suatu masa percobaan. (hal yang juga diatur sama oleh Undang-Undang No. 13 tahun 2003). Kedua, adanya pembatasan oleh Undang-Undang No. 13 tahun 2003 untuk melakukan pembaharuan kontrak sebanyak lebih dari dua kali, dan adanya keharusan mempekerjakan outsourcer yang telah diperpanjang lebih dari dua kali itu tenaga kerja tetap.
Dalam praktek beberapa perusahaan, sebagian besar mempekerjakan (baik individu maupun kelompok pekerja) dipekerjakan berdasarkan proyek dan waktu tertentu. Hal ini tentu sedikit tidak sesuai dengan pengertian outsource secara ilmu manajemen yang meletakkan outsource dalam bingkai kontinuitas roda produksi.
Pemahaman outsourcing sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Menurut Pasal 1601 b Kitab Undang-undang Hukum Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.

Fenomena Pertentangan Buruh dan Pengusaha
Sosok Buruh dan Pengusaha, ibarat dua petinju yang saling mengalahkan. Dimana yang kuat berhasil meng-KO-kan lawannya, meski dengan hanya meraih kemenangan angka. Buruh dan pengusaha, adalah dua pihak yang berlawanan dari sisi pembangunan ekonomi. Meski antara mereka saling membutuhkan. Dan tak mungkin diantara mereka meninggalkan yang lain. Saat ini, persoalan yang harus dipecahkan adalah bagaimana caranya mereka harus bisa hidup berdampingan antara yang satu dengan yang lain? Sama seperti pasangan suami istri, yang hidup bersama dalam membangun keluarga mereka.
Saat ini, sesuai fakta dan realita yang ada. Para buruh dan pengusaha di Indonesia, berdiri pada pihak yang benar. Kedua belah memiliki dasar pembenaran teori, sehingga dapat dikatakan bahwa kepentingannya layak didahulukan dari yang lain. Hingga akhirnya mereka berkonflik dengan unjuk kekuatan masing-masing, misalnya buruh melakukan mogok kerja dan pengusaha mengancam akan menutup perusahaannya (lock out).
Beberapa pemogokan buruh sesungguhnya timbul karena pengusaha tidak mematuhi ketentuan upah minimum. Pengusaha cenderung mendengar apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan trend yang ada sekarang, pengusaha baru memenuhi ketentuan upah minimum apabila buruh menuntut terlebih dahulu. Kalau ini yang menjadi kenyataan, maka ini adalah murni persoalan pelanggaran hak. Buruh dapat melaporkan pelanggaran pengusaha atas upah sebagai perbuatan pidana.
Kita bisa lihat di Pasal 90 UUK No.13 Tahun 2003 menyebutkan Barang siapa membayar upah lebih rendah dari upah minimum dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta rupiah dan paling banyak 400 juta rupiah, dan pelanggaran membayar upah tidak sesuai ketentuan ini disebut sebagai tindakan pidana kejahatan.
Pelanggaran semacam ini yang sekarang menjadi tugas berat bagi  pemerintahan di negeri ini. Perlu diketahui, asal mula dari persoalan itu, adalah ketika para pengusaha mengeluhkan peraturan tenaga kerja di Indonesia, yang katanya membuat negeri ini tak menarik di mata investor.

Mendengar keluhan itu, dengan langkah cepat namun ceroboh, pemerintah langsung menanggapinya. Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja, yang bertanggung jawab atas buruh dan pengusaha, disibukkan membuat rancangan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Revisi UU No.13/2003 itu, sebenarnya tidaklah salah. Sebab, tanpa masuknya investasi, pertumbuhan ekonomi akan mandek, penyerapan tenaga kerja baru terhenti, dan tingkat pengangguran pun akan melambung. Tapi lagi-lagi yang menjadi persoalan adalah cara merevisi yang kurang pas, sehingga di mata buruh upaya ini terkesan menjadi ancaman. Hasilnya pun bisa ditebak, ribuan buruh turun ke jalan untuk menentangnya.
Ribuan buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja tersebut, menilai revisi UU No. 13/ 2003 itu adalah merupakan upaya penghapusan hak pesangon untuk buruh yang upahnya di atas Rp 1,1 juta sebulan. Dan tentunya, sangat jelas sangat merugikan kaum pekerja.
Menurut saya, alangkah bijak langkah yang diambil oleh pemerintah, jika melakukan perundingan dengan buruh dan pengusaha agar ketentuan besarnya pesangon yang direvisi tidak memberatkan keduanya. Sebagai patokan besarnya pesangon, bisa dibandingkan dengan yang berlaku di negara lain, terutama yang menjadi pesaing di Indonesia.
Perbandingan ini pun harus dilakukan secara total dan tak semata pada besaran upah. Soalnya, di beberapa negara mungkin pesangonnya lebih kecil, tapi pemerintahnya memberikan tunjangan bagi para penganggur. Di Swedia, misalnya, tak ada pesangon tapi jaminan kesehatan dan pendidikan diberikan oleh pemerintah nyaris secara cuma-cuma. Para penganggur juga tak perlu khawatir kelaparan selama masa pencarian kerja baru, karena pemerintah memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Tapi apakah di Indonesia berlaku demikian? Justru yang terjadi malah sebaliknya. Di negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh, tani dan nelayan ini, hampir tidak ada dana dari pemerintah untuk membantu kaum miskin dan penganggur. Akibatnya, tunjangan kepada yang terkena pemutusan hubungan kerja dibebankan ke perusahaan dalam bentuk pesangon. Ini mungkin tak jadi soal jika perusahaan sedang untung besar, tapi menjadi beban yang tak tertahankan pada masa sulit. Karena siklus untung dan rugi merupakan keniscayaan dalam kegiatan niaga, kebijakan pemerintah seperti ini membuat ekonomi sulit bangkit kembali setelah tersungkur karena gempuran persaingan global.
Selain fenomena masalah tersebut, saat ini terdapat problema lain yang dipandang masih akan merugikan bagi pekerja dan hanya menguntungkan perusahaan dimana mereka dapat mempekerjakan tenaga dengan upah yang murah tanpa ada ketentuan yang sangat mengikat. Saat ini, menjadi marak keberadaan Lembaga Pelayanan Penempatan Swasta (LPPS) karena kehadirannya yang seolah-olah direstui oleh UU yang baru. Lembaga ini berusaha menjadi penghubung antara perusahaan yang ingin mempekerjakan orang dengan sistem outsourcing dengan calon pekerja.
Akibatnya, buruh tidak langsung berhubungan dengan perusahaan yang mempekerjakannya karena yang membuat perjanjian adalah perusahaan dengan LPPS. Perusahaan dimaksud   ADengan demikian buruh tidak mengetahui secara pasti hak dan kewajibannya. Kerugian lain yang harus ditanggung pekerja, yaitu banyaknya biaya yang harus dibayar agar bisa memperoleh pekerjaan, padahal waktu mulai bekerja di suatu perusahaan juga tidak pasti.
Dalam kerangka berpikir seperti diatas, jelaslah terlihat bahwa sengketa antara buruh dan pengusaha tak dapat diselesaikan hanya dengan membawa kedua pihak ke meja perundingan. Pada a pemerintah harus menjalan-kan fungsi seperti sistem peredam kejut pada kendaraan yang melaju di atas jalan bergelombang. Gonjang-ganjing perekonomian dunia yang dahsyat sepatutnya diserap pemerintah, sehingga gejolak yang terjadi masih berada dalam batas aman. Sebagian pendapatan pajak perusahaan yang diraih ketika ekonomi melambung tinggi perlu disimpan untuk membantu kaum miskin dan penganggur tatkala ekonomi sedang ambruk. Dengan demikian, pada masa sulit para pengusaha dapat melakukan berbagai upaya perampingan dan efisiensi tanpa mengakibatkan guncangan sosial ekonomi yang berlebihan.
Harus diakui, upaya seperti ini tentu butuh ongkos. Tapi keuntungan yang diraih dari upaya stabilisasi seperti ini biasanya jauh lebih tinggi ketimbang biaya yang dikeluarkan. Buktinya, pemerintah bersedia menganggarkan belasan triliun rupiah setiap tahun untuk menjaga stabilitas moneter. Jika pemerintah rela membelanjakan begitu banyak uang yang sebagian besar bermuara menjadi keuntungan para pemilik bank dan pemegang deposito atau surat berharga lainnya, mengapa tak disediakan juga dana stabilisasi untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional?
Pilihan ini seharusnya diambil pemerintah untuk menyelesaikan kemelut buruh versus pengusaha. Pemerintah tak boleh lepas tangan dan berdalih bahwa mekanisme pasar bebas akan menghasilkan solusi terbaik

Kesimpulan
Pengertian outsourcing yang dipakai seyogyanya hanya diperuntukkan bagi tenaga bantu yang berbentuk badan hukum saja. Ini mengingat konsep awal outsource adalah memecah proses produksi menjadi satuan yang lebih kecil dan mampu mengorganisir manajemennya sendiri.
Pada outsourcing sifat pekerjaannya adalah pekerjaan penunjang atau operasional, tetapi pekerjaan tersebut dilakukan secara terus menerus (cleaning servis, petugas keamanan, petugas parkir). Bukan sebagai tenaga kerja di bidang produksi, ini merupakan hal yang harus diperhatikan oleh para tenaga outsourcer, pihak pengusaha dan perusahaan penyalur tenaga kerja sebelum melakukan hubungan kontrak kerja. Perusahaan produksi haruslah menghormati apa-apa yang menjadi tanggung jawab buruh, bukan seenaknya menyuruh mereka melaksanakan tugas yang bukan menjadi kewajiban mereka. Sedangkan perusahaan outsourcing tetap memperhatikan hak-hak buruh. Bukan berarti bila sudah menyalurkan tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga outsource maka tanggung jawab pengusaha outsourcing lepas. Ini adalah masalah moral yang pertama, hendaknya jangan sampai ada kesamaan dengan perdagangan budak yang terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Perlu juga ditambahkan Pasal 27 (2) UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak berlaku diskriminatif terhadap pekerja outsourcing. Meskipun pada mulanya sebagai pekerja outsourcing, namun setelah itu hendaknya harus diangkat menjadi pekerja tetap dengan segala haknya untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Saran
Sebagai saran yang mungkin dapat kita beri untuk mengatasi problema yang timbul antara pengusaha dengan buruh adalah dengan menekankan bahwa perusahaan-perusahaan outsourcing, hendaknya tidak bernaung di bawah perusahaan penerima jasa karena hal tersebut adalah merupakan bentuk rekayasa dari perusahaan penerima pekerja. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi hendaknya tidak dimasukkan di dalam pola kerja outsourcing.
Bagi pekerja yang berpendidikan tinggi hendaknya tidak melakukan pekerjaan outsourcing, tetapi mereka dipindahkan kepada pekerjaan-pekerjaan pokok di perusahaan sehingga tidak menimbukan pemborosan sumber daya manusia.
Meski demikian kita tidak serta-merta melupakan peran pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan yang akan timbul dikemudian hari. Pemerintah harus bertindak sebagai mediator antara buruh dan pengusaha yang saling memperjuangkan kepentingan masing-masing. Kebijakan yang diambil haruslah baik dan adil sehingga tercipta equilibirium antara kedua pihak. Semoga permasalahan mengenai buruh dan pengusaha di negara kita ini, cepat diatasi sehingga fokus pembangunan negara kita dapat terlaksana dan tercapai.
(Koko Mulyanto Angkat, SAP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar