Parakkal-akkal. Bahasa ini sering kita dengar. Biasanya ini diberikan kepada orang yang banyak bohongnya. Menjadi “Parakkal-akal” dikarenakan punya akal (fikiran) dan biasanya parakkal-akal itu pintar. Kalau dia goblok jangankan “mengakali” orang lain memikirkan dirinya saja tak mampu.
Suatu saat teman saya marah, kesal dan berkata kalau anaknya tukang bohong. Banyak alasan dan tak mau turut perintah orang tua dan dituding parakkal-akkal. Saya katakan kala itu anak anda pintar. Hanya saja kepintarannya itu yang harus diarahkan. Lantas persoalan yang terjadi orang tuanya yang tak mampu mengarahkan anaknya. Langsung memilih marah, kesal dan mengeluarkan sumpah serapah bahkan memukul anak.
Dalam dunia birokrat dan mereka yang dipercayakan menerima gaji dari negara ini banyak yang “parakkal-akkal”. Seminimnya lihat saja mereka yang masuk pagi lantas tanda tangan pulang kerumah. Awal bulan terima gaji. Demikian juga mereka yang duduk di kursi dewan. Hadir tak hadir bagai tak ada aturan mainnya. Jika ditanya pasti mengatakan ke lapangan. Bukan itu saja bagi pejabat yang punya eselon kwalitas “akal” harus lebih mapan. Jika tak”parakkal-akkal” bagaimana mungkin menutupi kebutuhan atasannya, kebutuhan orang yang minta tolong kepadanya dan kebutuhannya sendiri. Hingga kwalitas “parakkal-akkal” menjadi salah satu penilaian tersendiri atasan dalam memberikan jabatan.
Agak heran memang ketika masih anak-anak, orang tua melarang anaknya “parakkal-akkal” setelah besar dan bekerja justru itu yang menentukan keberhasilan seorang anak. Kejujuran menjadi tidak berarti dan kejujuran kerap membuat gagal dalam kehidupan. Lihat saja apa yang terjadi dalam sebuah pemerintahan jangan pernah bermimpi mempunyai jabatan jika tak mampu angkat telor dan menyenangkan atasan. Rusaknya menyenangkan atasan bukan dengan prestasi kerja atau kemampuan bekerja yang jujur. Namun menyenangkan atasan mampu memberikan setoran dan upeti. Artinya harus bisa “parakkal-akkal” pada anggarannya.
“Parakkal-akkal” menjadi mahal, parakkal-akkal menjadi penting dan parakkal-akal menjadi dinanti ketika dia dewasa. Jadi Parakkal-akkal itu hanya dilarang ketika anak-anak saja.
Seorang anak yang kembali dari perantauan jika hanya menumpang bus pasti akan disepelekan orang tua dan tetangganya. Jika dia PNS akan disebut pegawai goblok dan bodoh. Persoalannya adalah untuk bisa punya mobil sendiri kembali ke kampung seorang pegawai harus menjadi “parakkal-akkal” alias koruptor. Orang tua yang tadinya memarahi anak karena parakkal-akal kini justru mendorong anak menjadi koruptor dikala dewasa . Mungkin ini juga menyebab koruptor tak habis-habisnya dibangsa ini. Menjadi koruptor sepertinya didukung masyarakat dan orang tua. Sehingga korupsi sudah menjadi bagian dari budaya kita.
Indonesia disebut negara terkorup. Ini disebabkan banyaknya “parakkal-akkal”. Mengapa susah sekali memberantas penyakit korupsi ini tentu karena sudah menjadi budaya. Mengapa budaya itu dipertahankan? Tentu karena enak. Jadi tak usah lagi memarahi anak ketika kecil jika suka “parakkal-akkal” karena itu nanti ketika dewasa sangat perlu dan menjadi indikator penilaian atasannya.
Miring memang ide yang satu ini namun inilah kenyataan yang terjadi dibangsa ini. Tetapi bukan bangsa sana. Mungkin bagi bangsa lain yang maju “parakkal-akkal” langsung kena hukum gantung. Di negeri yang kondusif ini “potensi parakkal-akal” masih diutamakan dan diharapkan. Soal disebut terkorup sudah tak perduli karena kuping memang telah budek. (Chief of Editor)
Suatu saat teman saya marah, kesal dan berkata kalau anaknya tukang bohong. Banyak alasan dan tak mau turut perintah orang tua dan dituding parakkal-akkal. Saya katakan kala itu anak anda pintar. Hanya saja kepintarannya itu yang harus diarahkan. Lantas persoalan yang terjadi orang tuanya yang tak mampu mengarahkan anaknya. Langsung memilih marah, kesal dan mengeluarkan sumpah serapah bahkan memukul anak.
Dalam dunia birokrat dan mereka yang dipercayakan menerima gaji dari negara ini banyak yang “parakkal-akkal”. Seminimnya lihat saja mereka yang masuk pagi lantas tanda tangan pulang kerumah. Awal bulan terima gaji. Demikian juga mereka yang duduk di kursi dewan. Hadir tak hadir bagai tak ada aturan mainnya. Jika ditanya pasti mengatakan ke lapangan. Bukan itu saja bagi pejabat yang punya eselon kwalitas “akal” harus lebih mapan. Jika tak”parakkal-akkal” bagaimana mungkin menutupi kebutuhan atasannya, kebutuhan orang yang minta tolong kepadanya dan kebutuhannya sendiri. Hingga kwalitas “parakkal-akkal” menjadi salah satu penilaian tersendiri atasan dalam memberikan jabatan.
Agak heran memang ketika masih anak-anak, orang tua melarang anaknya “parakkal-akkal” setelah besar dan bekerja justru itu yang menentukan keberhasilan seorang anak. Kejujuran menjadi tidak berarti dan kejujuran kerap membuat gagal dalam kehidupan. Lihat saja apa yang terjadi dalam sebuah pemerintahan jangan pernah bermimpi mempunyai jabatan jika tak mampu angkat telor dan menyenangkan atasan. Rusaknya menyenangkan atasan bukan dengan prestasi kerja atau kemampuan bekerja yang jujur. Namun menyenangkan atasan mampu memberikan setoran dan upeti. Artinya harus bisa “parakkal-akkal” pada anggarannya.
“Parakkal-akkal” menjadi mahal, parakkal-akkal menjadi penting dan parakkal-akal menjadi dinanti ketika dia dewasa. Jadi Parakkal-akkal itu hanya dilarang ketika anak-anak saja.
Seorang anak yang kembali dari perantauan jika hanya menumpang bus pasti akan disepelekan orang tua dan tetangganya. Jika dia PNS akan disebut pegawai goblok dan bodoh. Persoalannya adalah untuk bisa punya mobil sendiri kembali ke kampung seorang pegawai harus menjadi “parakkal-akkal” alias koruptor. Orang tua yang tadinya memarahi anak karena parakkal-akal kini justru mendorong anak menjadi koruptor dikala dewasa . Mungkin ini juga menyebab koruptor tak habis-habisnya dibangsa ini. Menjadi koruptor sepertinya didukung masyarakat dan orang tua. Sehingga korupsi sudah menjadi bagian dari budaya kita.
Indonesia disebut negara terkorup. Ini disebabkan banyaknya “parakkal-akkal”. Mengapa susah sekali memberantas penyakit korupsi ini tentu karena sudah menjadi budaya. Mengapa budaya itu dipertahankan? Tentu karena enak. Jadi tak usah lagi memarahi anak ketika kecil jika suka “parakkal-akkal” karena itu nanti ketika dewasa sangat perlu dan menjadi indikator penilaian atasannya.
Miring memang ide yang satu ini namun inilah kenyataan yang terjadi dibangsa ini. Tetapi bukan bangsa sana. Mungkin bagi bangsa lain yang maju “parakkal-akkal” langsung kena hukum gantung. Di negeri yang kondusif ini “potensi parakkal-akal” masih diutamakan dan diharapkan. Soal disebut terkorup sudah tak perduli karena kuping memang telah budek. (Chief of Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar