’’SAH, Perkawinan Penganut Kepercayaan’’, demikian salah satu judul berita harian Suara Merdeka ( 30/01/10). Dari sejumlah narasumber diperoleh informasi bahwa para pengamal kepercayaan telah mendapat keleluasaan untuk melangsungkan dan mencatatkan perkawinan berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Hal ini didasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006.
Terlebih Bab X Pasal 81 PP Nomor 37 Tahun 2007 yang menyatakan, (1) ’’Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan. (2) Penghormatan/pengakuan HAM. (3) Sejak awal, Indonesia berdiri dari keberagaman agama dan kepercayaan. (4). UUD 1945 secara tegas mengakui agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Jika dikaji dari agama, apakah aliran, penganut, atau penghayat kepercayaan sebagai agama? Apapun jawabannya kita kembalikan pada konstitusi NKRI. Penyebutan îagamanya dan kepercayaannya ituî dalam pasal UU Perkawinan merupakan turunan dari Pasal 29 UUD 1945 (2). Pasal itumenyebut negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Bab XI dari UUD 1945 tentang agama ini dari awal hingga kini tidak mengalami amandemen. Penyebutan kepercayaannya setelah agamanya dengan piranti konjungsi berupa ’’dan’’, bukan bermakna parsial antara agamanya dan kepercayaannya berdiri sendiri-sendiri melainkan tetapi merupakan pernyataan yang integral.
Pengertian ini ditunjukkan oleh founding fathers dengan mencantumkan kata tunjuk ’’itu’’ setelah kata kepercayaannya. Sepengertian dengan makna ini, redaksi pasal ini sebelumnya menyebutkan ’’agamanya masing-masing’’ tanpa menyebutkan kepercayaannya masing-masing.
Logika bahasa ini diperjelas dengan pengertian bahasa tentang kepercayaan. Kepercayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna: (1) anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar-benar atau nyata. (2) sesuatu yang dipercayai. (3) harapan dan keyakinan (akan kejujuran, kebaikan, dan sebagainya. (4) orang yang dipercaya (diserahi sesuatu dan sebagainya). (5) sebutan bagi sistem religi di Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari kelima agama yang resmi.
Jelaslah bahwa kata kepercayaan dalam UUD 1945 Pasal 29 (2) atau UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 sangat berbeda dari kata kepercayaan yang didahului dengan kata aliran, penganut, atau penghayat.
PP Nomor 37 Tahun 2007 pun tidak mendefinisikan aliran, penganut, atau penghayat kepercayaan sebagai agama. Kepercayaan terhadap Tuhan YME diartikan sebagai pernyataan dan pelaksaan hubungan pribadi dengan Tuhan YME berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap Tuhan serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan bangsa Indonesia. Penghayat kepercayaan adalah setiap orang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan terhadap Tuhan YME.
Sedangkan agama resmi di Indonesia sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu.Terlebih Bab X Pasal 81 PP Nomor 37 Tahun 2007 yang menyatakan, (1) ’’Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan. (2) Penghormatan/pengakuan HAM. (3) Sejak awal, Indonesia berdiri dari keberagaman agama dan kepercayaan. (4). UUD 1945 secara tegas mengakui agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Jika dikaji dari agama, apakah aliran, penganut, atau penghayat kepercayaan sebagai agama? Apapun jawabannya kita kembalikan pada konstitusi NKRI. Penyebutan îagamanya dan kepercayaannya ituî dalam pasal UU Perkawinan merupakan turunan dari Pasal 29 UUD 1945 (2). Pasal itumenyebut negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Bab XI dari UUD 1945 tentang agama ini dari awal hingga kini tidak mengalami amandemen. Penyebutan kepercayaannya setelah agamanya dengan piranti konjungsi berupa ’’dan’’, bukan bermakna parsial antara agamanya dan kepercayaannya berdiri sendiri-sendiri melainkan tetapi merupakan pernyataan yang integral.
Pengertian ini ditunjukkan oleh founding fathers dengan mencantumkan kata tunjuk ’’itu’’ setelah kata kepercayaannya. Sepengertian dengan makna ini, redaksi pasal ini sebelumnya menyebutkan ’’agamanya masing-masing’’ tanpa menyebutkan kepercayaannya masing-masing.
Logika bahasa ini diperjelas dengan pengertian bahasa tentang kepercayaan. Kepercayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna: (1) anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar-benar atau nyata. (2) sesuatu yang dipercayai. (3) harapan dan keyakinan (akan kejujuran, kebaikan, dan sebagainya. (4) orang yang dipercaya (diserahi sesuatu dan sebagainya). (5) sebutan bagi sistem religi di Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari kelima agama yang resmi.
Jelaslah bahwa kata kepercayaan dalam UUD 1945 Pasal 29 (2) atau UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 sangat berbeda dari kata kepercayaan yang didahului dengan kata aliran, penganut, atau penghayat.
PP Nomor 37 Tahun 2007 pun tidak mendefinisikan aliran, penganut, atau penghayat kepercayaan sebagai agama. Kepercayaan terhadap Tuhan YME diartikan sebagai pernyataan dan pelaksaan hubungan pribadi dengan Tuhan YME berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap Tuhan serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan bangsa Indonesia. Penghayat kepercayaan adalah setiap orang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan terhadap Tuhan YME.
Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan, perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S 1933 Nomor 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S 1898 Nomor 158), dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU ini, dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan uraian itu dapat disimpulkan bahwa pernyataan status sah atas perkawinan penganut kepercayaan adalah diskualifikasi, batal demi hukum. Hal itu mengingat aliran, penganut atau penghayat kepercayaan bukan suatu agama resmi di Indonesia.
Dengan demikian amanat UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercyaannya itu belum/tidak terpenuhi. Untuk dapat dinyatakan sah perkawinan penganut, aliran atau penghayat kepercayaan, mereka harus melalui pintu/menginduk pada agama resmi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar